Latar Belakang

Para pemimpin Nazi mulai memenuhi janji mereka untuk memersekusi Yahudi Jerman tak lama setelah mereka memegang tampuk kekuasaan. Selama enam tahun pertama pemerintahan diktator Hitler, sejak tahun 1933 hingga pecahnya perang pada tahun 1939, umat Yahudi merasakan dampak dari 400 lebih dekret dan peraturan yang membatasi semua aspek kehidupan publik dan pribadi mereka. Banyak dari undang-undang tersebut yang dikeluarkan oleh pemerintah Jerman berlaku di tingkat nasional dan memengaruhi semua orang Yahudi. Namun pejabat negara bagian, regional, dan daerah, atas inisiatif mereka sendiri, juga memberlakukan serangkaian dekret pengasingan dalam lingkungan mereka sendiri. Oleh karena itu, ratusan individu di semua tingkat pemerintahan di seluruh pelosok negeri terlibat dalam persekusi terhadap kaum Yahudi karena mereka menyusun, membahas, merancang, menggunakan, menegakkan, dan mendukung undang-undang anti-Yahudi. Tidak ada satu sudut Jerman pun yang tidak tersentuh undang-undang ini.

1933–1934

Gelombang pertama undang-undang, sejak tahun 1933 hingga 1934, berfokus untuk membatasi partisipasi kaum Yahudi dalam kehidupan publik Jerman. Undang-undang utama pertama untuk membatasi hak warga negara Yahudi adalah "Undang-Undang Pemulihan Layanan Sipil Profesional" pada 7 April 1933, di mana pegawai negeri dan karyawan Yahudi dan yang "tidak dapat dipercaya secara politik" akan dikeluarkan dari kepegawaian negara. Undang-Undang Kepegawaian Negeri baru adalah rumusan pertama otoritas Jerman yang kemudian disebut Paragraf Arya, suatu jenis peraturan yang digunakan untuk mengeluarkan orang Yahudi (dan sering kali diperluas ke "non-Arya" lainnya) dari organisasi, profesi, dan aspek kehidupan publik lainnya.

Pada bulan April 1933, undang-undang Jerman membatasi jumlah siswa Yahudi di sekolah dan universitas Jerman. Pada bulan yang sama, undang-undang lainnya dengan tegas membatasi "aktivitas orang Yahudi" dalam profesi bidang kesehatan dan hukum. Undang-undang dan dekret berikutnya membatasi penggantian uang bagi dokter Yahudi dari dana asuransi kesehatan publik (negara). Kota Berlin melarang pengacara dan notaris Yahudi bekerja pada bidang hukum, wali kota Munich melarang dokter Yahudi mengobati pasien non-Yahudi, dan Kementerian Dalam Negeri Bavaria menolak pendaftaran mahasiswa Yahudi ke jurusan kedokteran.

Pada tingkat nasional, pemerintah Nazi membatalkan lisensi konsultan pajak Yahudi; menerapkan kuota 1,5 persen untuk pendaftaran "non-Arya" ke sekolah dan universitas negeri; memecat pekerja sipil Yahudi dari ketentaraan; dan, pada awal 1934, melarang aktor Yahudi tampil di panggung atau layar.

Pemerintah lokal juga mengeluarkan peraturan yang memengaruhi bidang kehidupan Yahudi lainnya: di Saxony, orang Yahudi tidak dapat lagi menyembelih hewan sesuai persyaratan kemurnian ritual, yang secara efektif mencegah mereka mematuhi hukum agama Yahudi terkait makanan.

1935

Pada pawai partai tahunan yang diadakan di Nuremberg pada September 1935, pimpinan Nazi mengumumkan undang-undang baru yang melembagakan banyak teori rasial yang terkandung dalam ideologi Nazi. "Undang-Undang Nuremberg" ini mengeluarkan orang Yahudi Jerman dari kewarganegaraan Reich dan melarang mereka menikahi atau melakukan hubungan seksual dengan "orang berdarah Jerman atau yang berhubungan dengan darah Jerman." Peraturan tambahan terhadap undang-undang ini menghapus sebagian besar hak politik mereka. Orang Yahudi kehilangan hak pilihnya (yakni, mereka tidak memiliki harapan resmi atas hak untuk memilih) dan tidak dapat memangku jabatan publik.

Contoh Undang-undang Ras Nuremberg (Undang-undang Kewarganegaraan Reich dan Undang-undang Perlindungan Darah dan Kehormatan Jerman).Undang-undang Nuremberg tidak mengidentifikasi "orang Yahudi" sebagai seseorang dengan keyakinan keagamaan tertentu. Amendemen pertama terhadap Undang-undang Nuremberg justru mendefinisikan siapa pun yang memiliki tiga atau empat kakek nenek orang Yahudi sebagai orang Yahudi, terlepas dari apakah individu tersebut menganggap dirinya sendiri sebagai orang Yahudi atau merupakan anggota komunitas keagamaan Yahudi. Banyak orang Jerman yang tidak mempraktikkan Yudaisme atau sudah tidak menjalankannya selama bertahun-tahun terjebak dalam cengkeraman teror Nazi. Bahkan orang dengan kakek nenek Yahudi yang telah beralih memeluk agama Kristen dapat didefinisikan sebagai orang Yahudi.

Undang-undang Nuremberg tahun 1935 membuka gelombang baru kehadiran undang-undang antisemitik yang mengakibatkan segregasi langsung dan nyata: Pasien Yahudi tidak lagi diterima di rumah sakit daerah di Düsseldorf, hakim pengadilan Jerman tidak dapat mengutip komentar atau opini hukum yang dibuat penulis Yahudi, petugas Yahudi dikeluarkan dari ketentaraan, dan mahasiswa Yahudi tidak diperbolehkan mengikuti ujian doktoral.

Peraturan lainnya memperkuat pesan bahwa orang Yahudi adalah orang luar di Jerman; misalnya, pada Desember 1935, Kementerian Propaganda Reich mengeluarkan dekret yang melarang tentara Yahudi untuk dikenang namanya di antara korban tewas dalam memorial Perang Dunia I.

"Aryanisasi"

Badan pemerintah di semua tingkat berupaya untuk mengeluarkan orang Yahudi dari sistem ekonomi Jerman dengan menghambat mereka mendapatkan penghasilan. Orang Yahudi diwajibkan mendaftarkan properti dan asetnya di dalam dan luar negeri, sebuah titik awal untuk perampasan kekayaan material mereka secara bertahap oleh negara. Otoritas Jerman juga bermaksud untuk "Mengaryanisasi" semua bisnis Yahudi, suatu proses yang mencakup pemecatan pekerja dan manajer Yahudi, serta peralihan perusahaan dan usaha ke orang Jerman non-Yahudi, yang membelinya pada harga yang ditetapkan secara resmi jauh di bawah harga pasar. Sejak bulan April 1933 hingga April 1938, "Aryanisasi" secara efektif mengurangi jumlah bisnis yang dimiliki orang Yahudi di Jerman sebanyak sekitar dua pertiga.

1936

Pada beberapa minggu sebelum dan selama Pertandingan Olimpiade Musim Dingin dan Musim Panas 1936 yang masing-masingnya diselenggarakan di Garmisch-Partenkirchen dan Berlin, rezim Nazi benar-benar dapat meredam sebagian besar retorika dan aktivitas publiknya yang anti-Yahudi. Rezim tersebut bahkan melepas beberapa papan bertuliskan "Orang Yahudi Tidak Dikehendaki" dari tempat-tempat publik. Hitler tidak ingin kritik internasional terhadap pemerintahannya mengakibatkan dipindahkannya Pertandingan tersebut ke negara lain. Kerugian tersebut tentu akan menjadi pukulan serius bagi harga diri Jerman. Pemimpin Nazi juga tidak ingin melemahkan pariwisata internasional dan pendapatan yang dihasilkannya selama tahun penyelenggaraan Olimpiade.

1937-1938

Pada 1937 dan 1938, otoritas Jerman kembali meningkatkan persekusi secara legislatif terhadap kaum Yahudi Jerman. Pemerintah berupaya untuk memiskinkan orang Yahudi dan menghapus mereka dari sistem ekonomi Jerman dengan mewajibkan mereka untuk mendaftarkan properti mereka. Bahkan sebelum Olimpiade, pemerintah Nazi telah memulai praktik "Aryanisasi" bisnis Yahudi. "Aryanisasi" berarti pemecatan pekerja dan manajer Yahudi dalam suatu perusahaan dan/atau pengambilalihan bisnis milik orang Yahudi oleh orang Jerman non-Yahudi yang membelinya pada harga tawar yang telah ditetapkan pemerintah atau pejabat partai Nazi. Pada tahun 1937 dan 1938, pemerintah melarang dokter Yahudi untuk mengobati orang non-Yahudi, dan mencabut izin pengacara Yahudi untuk menjalankan praktik hukum.

Setelah pogrom Kristallnacht (lazim dikenal dengan nama "Malam Kaca Pecah") pada tanggal 9-10 November 1938, pimpinan Nazi meningkatkan upaya "Aryanisasi" dan menempuh langkah-langkah yang semakin berhasil dalam mengisolasi dan memisahkan secara fisik orang Yahudi dari sesama orang Jerman. Orang Yahudi dilarang di semua sekolah dan universitas negeri, serta di bioskop, teater, dan fasilitas olahraga. Di banyak kota, orang Yahudi dilarang memasuki zona-zona yang ditetapkan sebagai zona "Arya." Dekret dan peraturan Jerman memperluas larangan terhadap Yahudi ke ranah pekerjaan. Misalnya, pada bulan September 1938, dokter Yahudi benar-benar dilarang mengobati pasien "Arya."

Paspor yang dikeluarkan untuk pasangan Jerman Yahudi, denganPemerintah mewajibkan orang Yahudi untuk mengidentifikasi diri mereka dengan cara yang akan memisahkan mereka secara permanen dari populasi lainnya. Pada Agustus 1938, otoritas Jerman menetapkan bahwa mulai 1 Januari 1939, pria dan wanita Yahudi yang memiliki nama depan dengan asal "non-Yahudi" harus menambahkan masing-masing "Israel" dan "Sara" ke nama depan mereka. Semua orang Yahudi diwajibkan untuk membawa kartu identitas yang menunjukkan keturunan Yahudinya, dan pada musim gugur 1938, semua paspor Yahudi dibubuhi cap dengan huruf pengidentifikasi "J."

Saat para pemimpin Nazi mempercepat persiapan mereka untuk perang penaklukan Eropa yang ingin mereka lancarkan, undang-undang antisemitik di Jerman dan Austria membuka jalan bagi persekusi yang lebih radikal terhadap kaum Yahudi.