Sebelum Holocaust, kaum Yahudi di Eropa telah menanggung antisemitisme selama berabad-abad. Pemerintah dan gereja di seluruh Eropa memberlakukan serangkaian pembatasan terhadap orang Yahudi. Sebagai contoh, mereka melarang orang Yahudi memiliki tanah, membatasi tempat tinggal mereka, dan menentukan pekerjaan untuk mereka. Terkadang, orang Yahudi bahkan dipaksa untuk memakai tanda khusus yang membuat mereka terkucilkan secara sosial.

Sejarah panjang pengucilan dan penindasan ini membuat banyak orang Yahudi berkesimpulan bahwa satu-satunya masa depan bagi kehidupan komunal Yahudi adalah pembentukan tanah air di Tanah Israel (Palestina). Pada akhir abad ke-19, gerakan politik Yahudi baru yang disebut Zionisme dibentuk untuk mendukung tujuan ini. Gerakan Zionis ini semakin populer di Eropa setelah Perang Dunia I, dengan munculnya gerakan dan kebijakan politik anti-Yahudi baru yang semakin memperparah penganiayaan. 

Selama Holocaust, Nazi, sekutu dan kolaboratornya membantai enam juta orang Yahudi, termasuk pria, wanita, dan anak-anak. Mereka menghancurkan kehidupan Yahudi di Eropa yang sudah berabad-abad dan ribuan komunitas Yahudi. 

Setelah genosida ini, banyak dari penyintas Holocaust dan orang Yahudi lainnya yang menjadi sadar bahwa kaum Yahudi membutuhkan negara sendiri di mana mereka dapat hidup dengan aman dan mandiri. Dukungan terhadap Zionisme pun tumbuh di kalangan penyintas Holocaust, pemimpin internasional, dan berbagai pihak lainnya. Ketika Negara Israel didirikan pada Mei 1948, banyak penyintas Holocaust yang menyambutnya sebagai tanah air di mana mereka tidak lagi menjadi minoritas yang rentan.

Respons Yahudi terhadap Antisemitisme dalam Beberapa Dekade Sebelum Holocaust

Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, ada jenis antisemitisme baru yang berkembang di seluruh Eropa. Dalam periode ini, prasangka lama tentang orang Yahudi di kalangan umat Kristen bercampur dengan bentuk-bentuk kebencian rasial, nasional, dan etnis baru. Di banyak negara, para antisemit memanfaatkan pers massa untuk menyebarkan teori konspirasi antisemitik dan berbagai kebohongan lainnya tentang orang Yahudi. Mereka menyalakan api kebencian dan memanfaatkan ketakutan dan prasangka orang-orang. Gerakan politik baru melakukan kampanye dengan platform yang secara eksplisit anti-Yahudi. Sebagian besar gerakan nasionalis Eropa menggambarkan orang Yahudi sebagai orang asing yang tidak memiliki tempat. Di Kekaisaran Rusia, beberapa gelombang kerusuhan brutal dan mematikan (pogrom) menyasar komunitas Yahudi. 

Di seluruh Eropa, orang Yahudi berjuang untuk mencari cara terbaik dalam menghadapi antisemitisme sambil tetap menjaga kehidupan komunal Yahudi yang dinamis. Mereka terlibat dalam perdebatan sengit tentang cara menyeimbangkan tradisi keagamaan Yahudi dengan kehidupan modern. Mereka berdebat tentang apakah dan bagaimana orang Yahudi seharusnya berasimilasi atau memodernisasi diri. Mereka membahas bahasa yang seharusnya digunakan orang Yahudi sebagai tanda identitas. Mengingat kemiskinan dan ancaman kekerasan yang semakin meluas di Eropa, ada yang berpendapat bahwa imigrasi ke Amerika Serikat atau tempat lain adalah opsi terbaik. 

Dalam konteks ini, Zionisme modern pun didirikan. Gerakan politik ini mendukung pembentukan negara Yahudi otonom di Israel. Nama "Zion" berasal dari Alkitab Ibrani sebagai nama untuk Israel. Zionisme modern dibangun atas dasar sejarah Yahudi selama berabad-abad di Tanah Israel (Palestina), tempat yang telah didiami oleh orang Yahudi secara berkesinambungan selama lebih dari 4.000 tahun. Tanah Israel (Palestina) selalu menjadi fokus sentral dalam agama Yahudi dan Alkitab Ibrani. 

Oleh karena itu, Zionisme merupakan gabungan antara tradisi lama dan baru. Zionisme lahir dari ikatan religius dan sejarah kuno antara orang Yahudi dan Tanah Israel (Palestina). Namun, Zionisme juga merupakan gerakan politik modern. Zionisme merupakan respons terhadap meningkatnya antisemitisme, dan terinspirasi sebagian oleh ide dan konsep yang marak di Eropa pada pengujung abad ke-19, termasuk nasionalisme berdasarkan etnisitas.

Theodor Herzl dan Kongres Zionis Pertama.

Gerakan Zionis modern didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Theodor Herzl. 

Herzl adalah seorang pengacara dan jurnalis Yahudi dari Kekaisaran Austro-Hungaria. Dia merasakan langsung bagaimana maraknya antisemitisme di Eropa. Hal ini menginspirasinya untuk mendirikan gerakan Zionis. Sebagai koresponden asing untuk surat kabar terkemuka di Wina, Herzl meliput Skandal Dreyfus yang antisemitik di Paris pada tahun 1894. Alfred Dreyfus adalah seorang perwira militer Yahudi Prancis. Dia menjadi sasaran prasangka anti-Yahudi dan secara tidak adil dinyatakan bersalah atas pengkhianatan. Sidang ini memperkuat kebohongan yang menggambarkan orang Yahudi sebagai pihak luar yang penuh tipu daya. Pada tahun 1897, Herzl juga menyaksikan politikus anti-Yahudi yang vokal, Karl Lueger, menjadi wali kota Wina. 

Herzl berpendapat bahwa kaum Yahudi harus membentuk negara mereka sendiri yang otonom dan dengan pemerintahan sendiri. Dia meyakini bahwa orang Yahudi seharusnya kembali ke tanah leluhur mereka, yaitu Israel (Palestina), daripada tetap menjadi minoritas yang rentan di Eropa.

Pada tahun 1897, Herzl mengadakan Kongres Zionis Pertama. Selama pertemuan ini, para peserta berjanji "untuk memastikan sebuah tanah air yang diakui secara publik dan dijamin secara hukum bagi bangsa Yahudi " di Tanah Israel (Palestina). Pada saat itu, wilayah ini merupakan bagian dari Kesultanan Utsmaniyah. Umumnya, wilayah ini dalam bahasa Inggris disebut sebagai "Palestine" (Palestina), suatu versi yang diadaptasi ke dalam bahasa Inggris untuk nama wilayah tersebut yang berasal dari zaman kuno dan Bizantium.1 Herzl dan yang lainnya berharap untuk mendapatkan dukungan untuk Zionisme dari pemimpin internasional, termasuk pihak berwenang dari Kesultanan Utsmaniyah.

Ratusan ribu orang Yahudi di seluruh Eropa dan di luar kawasan tersebut menjadi aktivis Zionis yang ingin melakukan persiapan untuk kehidupan di Israel (Palestina). Gerakan Zionis ini menganjurkan agar orang Yahudi berbicara dalam bahasa Ibrani dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kelompok-kelompok Zionis mendirikan sekolah-sekolah dan surat kabar berbahasa Ibrani. Kelompok pemuda dan organisasi olahraga Zionis menjadi populer di seluruh Eropa. Gerakan Zionis mendorong orang Yahudi untuk melatih diri sebagai pekerja pertanian dan mempelajari keterampilan yang akan berguna di rumah masa depan mereka. 

Mandat Pembentukan Palestina setelah Perang Dunia I.

Perang Dunia I (1914–1918) secara drastis mengubah peta Eropa, Timur Tengah, dan wilayah lainnya. Kesultanan Utsmaniyah bergabung dalam Perang sebagai bagian dari Sekutu Sentral. Kesultanan Utsmaniyah bertempur bersama-sama dengan Jerman, Bulgaria, dan Austria-Hungaria. Sekutu Sentral bertempur melawan Inggris, Prancis, Kekaisaran Rusia, dan negara-negara lainnya. 

Masa depan Kesultanan Utsmaniyah dan wilayahnya menjadi salah satu pokok pembahasan selama perang. Banyak pengamat internasional yang memahami bahwa Kesultanan Utsmaniyah sedang mengalami kemunduran. Terlihat jelas juga bahwa berbagai negara dan kelompok berharap untuk dapat memegang kendali atas wilayah Kesultanan Utsmaniyah di Timur Tengah. Pemerintah Inggris dan kekuatan lainnya membuat sejumlah perjanjian dan deklarasi terkait status masa depan wilayah Kesultanan Utsmaniyah. Salah satu di antaranya adalah Deklarasi Balfour. Ini adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh Inggris pada tahun 1917. Deklarasi Balfour mendukung "tanah air bagi bangsa Yahudi" di wilayah yang disebut sebagai "Palestina" dalam dokumen tersebut.

Perang Dunia I menyebabkan runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah. Akibatnya, dua mandat Liga Bangsa-Bangsa pun dibentuk untuk mengatur bekas wilayah Kesultanan Utsmaniyah di Timur Tengah. Mandat-mandat ini adalah "Mandat untuk Suriah dan Lebanon" dan "Mandat untuk Palestina." Inggris mendapatkan kendali administratif atas apa yang sekarang disebut sebagai Mandat Palestina.2 Kesepakatan mandat menyatakan bahwa otoritas Inggris bertanggung jawab untuk melaksanakan janji-janji dalam Deklarasi Balfour. Wilayah tersebut memiliki tiga bahasa resmi: Inggris, Arab, dan Ibrani. 

Beberapa tahun setelah Perang Dunia I usai, banyak partai politik di seluruh Eropa yang mendapati bahwa pesan-pesan anti-Yahudi yang penuh kebencian memiliki daya tarik luas di kalangan pemilih. Gerakan politik baru (termasuk Nazisme Jerman) secara terbuka menyatakan tujuan yang anti-Semitik dan mengadopsi platform partai yang mengusung sentimen anti-Semitisme. Pada saat yang sama, gerakan Zionis terus berkembang dan berupaya mewujudkan tujuannya untuk membentuk negara Yahudi yang otonom di Tanah Israel (Palestina). Namun, otoritas Inggris secara ketat membatasi imigrasi Yahudi ke wilayah Mandat Palestina. Keputusan tersebut diambil sebagian untuk meredam kekerasan dan ketegangan yang berasal dari masyarakat Arab dan Yahudi setempat. Banyak Zionis yang merasa frustrasi oleh pembatasan imigrasi ini.

Mencari Tempat Perlindungan selama Holocaust, 1933–1945.

Harapan emigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina

Partai Nazi naik ke tampuk kekuasaan di Jerman pada tahun 1933. Banyak orang Yahudi yang mencoba melepaskan diri dari kebijakan dan undang-undang antisemitisme yang sangat kental dan didukung oleh negara rezim baru tersebut. Mereka berharap untuk dapat berimigrasi ke negara-negara Eropa lainnya, atau ke destinasi seperti Amerika Serikat, Kanada, dan wilayah Mandat Palestina. Namun begitu, keluar dari Jerman bukanlah perkara yang mudah. Untuk beremigrasi, orang Yahudi mesti mengajukan permohonan untuk berbagai macam dokumen dengan pengurusan yang mahal dan rumit. Bahkan sekalipun dia berhasil mendapatkan dokumen-dokumen tersebut, sangat sedikit negara yang bersedia menampung orang Yahudi.

Sepanjang tahun 1930-an, Inggris semakin membatasi imigrasi Yahudi ke wilayah Mandat Palestina. Meskipun demikian, sekitar 60.000 orang Yahudi dari Jerman dan wilayah yang dianeksasinya tiba di Palestina antara tahun 1933 dan 1939. 

Pada Mei 1939, Inggris mengeluarkan dokumen kebijakan yang dikenal sebagai "White Paper 1939" (Buku Putih 1939). Dokumen tersebut menguraikan rencana Inggris untuk lebih membatasi imigrasi Yahudi ke wilayah Mandat Palestina. Perubahan kebijakan yang bergerak menjauh dari Deklarasi Balfour menimbulkan kekecewaan dan kemarahan di kalangan para Zionis. Waktunya terasa sangat tidak tepat. Pada tahun 1938–1939, Jerman Nazi memperluas batas dan jangkauannya melalui tindakan agresi wilayah terhadap negara-negara tetangga, sehingga semakin banyak saja orang Yahudi yang berada di bawah kendali Jerman Nazi. Pecahnya Perang Dunia II pada September 1939 semakin mengancam populasi Yahudi di Eropa. Para Nazi memulai tindakan kekerasan massal yang brutal terhadap orang Yahudi di setiap wilayah yang mereka duduki, sering kali dengan bantuan sekutu dan kolaborator lokal. Bagi mereka yang berharap untuk melarikan diri dari Nazi dengan kabur ke luar negeri, perang membuat perjalanan menjadi semakin tidak memungkinkan dan bahkan membahayakan. Hampir tidak ada negara yang bersedia menerima mereka. 

Selama perang berlangsung, kebijakan anti-Yahudi Nazi meningkat menjadi pembantaian massal sistematis. Para Nazi beserta sekutu dan kolaboratornya membantai enam juta orang Yahudi, baik pria, wanita, maupun anak-anak, dalam genosida yang sekarang dikenal sebagai Holocaust. 

Palestina Selama Perang Dunia II, 1939–1945

Selama Perang Dunia II, konflik antara Jerman dan Inggris beserta sekutu mereka meluas hingga ke Afrika Utara. Pada tahun 1942, Inggris akhirnya menghentikan gerak maju Jerman melalui Mesir dalam Pertempuran El Alamein. Dengan demikian, wilayah Mandat Palestina tetap berada di tangan Inggris dan orang Yahudi yang tinggal di sana tetap aman dari genosida Nazi.

Penerjun payung Yahudi Hannah Szenes bersama saudara laki-lakinya, sebelum berangkat untuk misi penyelamatan.

Banyak orang Yahudi di wilayah mandat Palestina yang ingin bergabung dalam perlawanan terhadap Jerman Nazi. Ribuan relawan bergabung dengan angkatan bersenjata Inggris dan sebagian lagi berjuang di unit-unit Yahudi yang baru terbentuk. Sebagai contoh, Hannah Szenes, seorang wanita muda Yahudi kelahiran Hungaria, bertugas sebagai relawan parasut yang dikirim ke belakang garis Jerman untuk aksi perlawanan dan penyelamatan. Pihak berwenang menangkap Szenes ketika mencoba menyeberangi perbatasan ke wilayah Hungaria yang diduduki Jerman. Mereka menyiksanya selama beberapa bulan, tetapi dia tidak pernah mengkhianati rekan-rekannya. Szenes akhirnya dinyatakan bersalah atas pengkhianatan dan dieksekusi. Kelompok Brigade Yahudi di angkatan bersenjata Inggris, yang bertempur di bawah bendera Bintang Daud, secara resmi dibentuk pada September 1944. Kelompok ini memiliki lebih dari 5.000 relawan Yahudi dari wilayah Mandat Palestina. Brigade Yahudi bertempur dengan gagah berani melawan Jerman di Italia dari Maret 1945 hingga akhir perang di Eropa pada Mei 1945. 

Banyak orang Yahudi di wilayah Mandat Palestina yang memiliki keluarga dan teman-teman yang terperangkap di Eropa. Mereka menantikan kabar dari keluarga dan teman-teman tersebut dengan penuh kekhawatiran. Mereka pun menjadi sangat terkejut penuh kengerian ketika informasi tentang pembantaian massal orang-orang Yahudi di Eropa menjadi berita umum.

Krisis Pengungsi Pascaperang (1945–1948)

Saat Sekutu mengalahkan Jerman pada musim semi 1945, mereka mendapati jutaan warga sipil Eropa yang tinggal jauh dari rumah mereka sebelum perang, termasuk ratusan ribu penyintas Holocaust. Selain pembantaian 6 juta orang Yahudi Eropa dan jutaan orang lainnya, Jerman Nazi juga melakukan pemindahan paksa penduduk dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kebijakan Jerman selama perang telah menyebabkan krisis pengungsi terbesar yang pernah terjadi di dunia. 

Jerman menyerah pada Mei 1945. Dalam beberapa bulan, Sekutu memulangkan jutaan orang ke negara asal mereka. Namun, banyak penyintas Holocaust yang menolak atau merasa tidak mampu untuk kembali ke kota mereka sebelum perang. Mereka tidak hanya kehilangan keluarga dan komunitasnya, tetapi juga kehilangan harta benda dan mata pencaharian. Selain itu, pulang ke kampung halaman berarti menghadapi antisemitisme yang masih terus berlanjut dan trauma berat yang dialami selama Holocaust. Orang-orang Yahudi yang kembali ke negara asal mereka sering kali menghadapi sikap permusuhan dan aksi kekerasan. Sebagai contoh, 42 orang penyintas Holocaust dibantai pada Juli 1946 saat kerusuhan antisemit di kota Kielce, Polandia.

Banyak penyintas Holocaust yang menuju wilayah Eropa yang telah dibebaskan oleh Sekutu barat. Mereka berharap menemukan tempat baru untuk menetap dan memulai hidup baru. Namun, impian ini masih sulit untuk diwujudkan. Pembatasan imigrasi masih tetap berlaku untuk Amerika Serikat, wilayah Mandat Palestina di bawah kendali Inggris, dan negara-negara lainnya. 

Di zona pendudukan Sekutu di Eropa Barat, banyak penyintas Holocaust yang ditampung di kamp-kamp pengungsi, yang disebut kamp Pengungsi Telantar (DP). Pada puncaknya pada tahun 1947, populasi orang-orang telantar Yahudi mencapai sekitar 250.000. Kamp-kamp ini tidak pernah dimaksudkan sebagai tempat tinggal permanen, dan sebagian besar dari penghuninya berupaya keras untuk keluar dari kamp. 

Perdebatan Amerika dan Inggris tentang Pengungsi Yahudi

Nasib orang-orang Yahudi telantar (DP) menjadi pokok perdebatan antara pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. Pada musim panas tahun 1945, perwakilan Amerika Serikat untuk Komite Antarpemerintah untuk Pengungsi, Earl G. Harrison, melaksanakan misi untuk menentukan kebutuhan para pengungsi Yahudi dan non-repatriasi lainnya. Dalam laporan yang dihasilkan, Harrison memberikan kritikan tajam mengenai perlakuan terhadap para pengungsi telantar. Dia menggambarkan kondisi yang penuh sesak dan tidak higienis di kamp-kamp DP. Dia juga memberikan rekomendasi untuk meningkatkan kondisi para Pengungsi Telantar Yahudi. Terakhir, Harrison mendesak adanya tindakan cepat dalam menyelesaikan masalah permukiman kembali populasi pengungsi Yahudi. Sebagian besar Pengungsi Telantar Yahudi, menurutnya, ingin pergi ke wilayah Mandat Palestina. Dia merujuk kepada petisi dari Badan Yahudi di Palestina. Petisi ini meminta agar Inggris mengeluarkan 100.000 sertifikat imigrasi tambahan untuk orang Yahudi.

Presiden AS, Harry S. Truman, meneruskan Laporan Harrison itu kepada Perdana Menteri Inggris, Clement Attlee. Truman mendesak Inggris untuk mengizinkan 100.000 Pengungsi Telantar Yahudi berimigrasi ke wilayah Mandat Palestina. Attlee dengan tegas menolak baik usulan Truman maupun rekomendasi dalam Laporan Harrison. Dia juga memperingatkan Truman tentang "bahaya serius" terhadap hubungan AS-Inggris jika pemerintah AS secara terbuka mendukung imigrasi Yahudi ke wilayah Mandat Palestina.

Untuk mencoba meredakan ketegangan dengan Amerika Serikat, Inggris pun membentuk "Komite Pemeriksaan Anglo-Amerika tentang Palestina." Komite tersebut menyelidiki klaim-klaim yang terdapat dalam Laporan Harrison. Laporan komite ini pada April 1946 mengonfirmasi temuan-temuan yang diungkapkan oleh Harrison. Komite ini merekomendasikan pemberian izin bagi 100.000 orang Yahudi untuk berimigrasi ke Palestina. Inggris menolak semua rekomendasi tersebut.

Para pengungsi memenuhi dek kapal Aliyah Bet (imigrasi

Para Penyintas Holocaust dan Zionisme di Kamp Pengungsi Telantar (DP)

Setelah peristiwa Holocaust, ada banyak penyintas yang ingin keluar dari Eropa. Mereka menemukan jalan penuh harapan pada Zionisme. Dari tahun 1945 hingga 1948, semakin banyak penyintas Yahudi yang memilih wilayah Mandat Palestina yang berada di bawah kendali Inggris sebagai tempat tujuan yang paling mereka inginkan. 

David Ben-Gurion, pemimpin komunitas Yahudi di wilayah Mandat Palestina, mengunjungi kamp-kamp DP di Eropa beberapa kali pada tahun 1945 dan 1946. Kunjungannya itu meningkatkan moral para Pengungsi Telantar dan mendorong mereka untuk mendukung negara Yahudi. Para pengungsi tersebut menjadi kekuatan yang signifikan dalam mendukung perjuangan Zionis. Berbagai protes massal terhadap kebijakan Inggris yang membatasi imigrasi ke Palestina menjadi hal lumrah di kamp-kamp Pengungsi Telantar.

Namun, Inggris terus menerapkan kebijakan imigrasi yang terbatas. Hal ini memperkuat tekad banyak orang Yahudi untuk mencapai Palestina dengan cara apa pun. Dari tahun 1945 hingga 1948, organisasi Briḥah ("melarikan diri" atau "pelarian" dalam bahasa Ibrani) telah memindahkan lebih dari 100.000 orang Yahudi dari Eropa timur ke zona pendudukan Sekutu dan kamp-kamp DP. Dari sana, Kelompok Brigade Yahudi memimpin sejumlah kelompok yang mengurus pengaturan kapal untuk membawa para pengungsi ke Palestina tanpa izin dari pihak Inggris. 

Inggris mencegat sebagian besar kapal-kapal ini dan menolak memberi izin masuk. Antara tahun 1945 dan 1948, Inggris menangkap lebih dari 50.000 pengungsi Yahudi di tengah laut dan mengirim mereka ke kamp-kamp penahanan di pulau Mediterania, Siprus. Dalam satu kasus yang luar biasa pada tahun 1947, Inggris menghentikan sebuah kapal, Exodus 1947, saat dalam perjalanannya. Terdapat 4.500 penyintas Holocaust di atas kapal tersebut. Inggris menolak memberi izin masuk kepada para penyintas ini ke Palestina dan dengan paksa mengangkut mereka ke zona yang diduduki Inggris di Jerman. Insiden ini menarik perhatian publik internasional dan mempermalukan pemerintah Inggris. Kejadian ini juga menimbulkan simpati terhadap penderitaan kaum Yahudi di Eropa seusai perang, dan membantu memengaruhi opini publik internasional untuk akhirnya mendukung pengakuan negara Yahudi pada tahun 1948.

Jewish refugees arrive in Haifa and are interned

Para Penyintas Holocaust dan Pembentukan Negara Israel

Ketika krisis pengungsi meningkat, pemerintah Inggris mengajukan masalah ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam sesi khusus, Majelis Umum PBB memberikan suara pada 29 November 1947 untuk membagi wilayah Mandat Palestina menjadi dua negara baru, satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Ini adalah rekomendasi yang diterima oleh para pemimpin Yahudi tetapi ditolak oleh bangsa Arab.

Inggris mulai menarik pasukannya pada April 1948. Para pemimpin Zionis kemudian bersiap untuk secara resmi mendirikan negara Yahudi modern. Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion mengumumkan pembentukan Negara Israel. Dia menyatakan:

‘Holocaust Nazi, yang melanda jutaan orang Yahudi di Eropa, membuktikan sekali lagi urgensi pendirian kembali Negara Yahudi, yang akan menyelesaikan masalah tunawisma Yahudi dengan membuka pintu gerbang untuk semua orang Yahudi dan mengangkat warga Yahudi hingga setara dengan keluarga bangsa-bangsa.”
—Deklarasi Kemerdekaan Negara Yahudi, diterbitkan dalam bahasa Inggris di New York Times pada 15 Mei 1948. 

Presiden Truman mengakui Negara Israel yang baru pada hari yang sama. Semua pembatasan untuk imigrasi Yahudi ke Israel dicabut, dan tak lama kemudian para penyintas Holocaust pun mulai berdatangan di Negara Israel yang baru. Banyak penyintas Holocaust yang ikut bertempur dan tewas sebagai prajurit dalam Perang Kemerdekaan Israel (1948–1949). Meskipun merupakan minoritas dalam populasi Israel, para penyintas Holocaust terus memberikan kontribusi signifikan bagi negara tersebut. Bagi para penyintas dan keluarga mereka di seluruh dunia, Negara Israel tetap menjadi sumber keamanan dan kebanggaan yang penting.