Selama Perang Dunia II, Nazi mendeportasi antara tujuh dan sembilan juta warga Eropa, sebagian besar ke Jerman. Dalam beberapa bulan setelah menyerahnya Jerman pada Mei 1945, Sekutu memulangkan lebih dari enam juta orang terlantar (DP; pengungsi masa perang) ke negara asal mereka. Antara 1,5 juta dan dua juta DP menolak dipulangkan.

Kapal pengungsi Yahudi

Kebanyakan penyintas Yahudi, yang selamat dari kamp konsentrasi atau yang bersembunyi, tidak dapat atau tidak mau kembali ke Eropa timur karena antisemitisme pascaperang dan penghancuran komunitas mereka selama Holocaust. Banyak dari mereka yang kembali mengkhawatirkan keselamatan jiwanya. Di Polandia, sebagai contoh, penduduk setempat memprakarsai beberapa pogrom dengan kekerasan. Pogrom terburuk adalah yang terjadi di Kielce pada 1946 di mana 42 orang Yahudi, semua penyintas Holocaust, tewas. Pogrom tersebut menyebabkan pergerakan kedua pengungsi Yahudi yang signifikan dari Polandia ke barat.

Banyak penyintas Holocaust pindah ke barat ke wilayah-wilayah yang dibebaskan oleh Sekutu barat. Mereka ditampung di kamp orang-orang terlantar (DP) dan pusat orang-orang terlantar perkotaan. Sekutu mendirikan kamp-kamp semacam itu di Jerman, Austria, dan Italia yang diduduki Sekutu bagi para pengungsi yang menunggu untuk meninggalkan Eropa. Sebagian besar orang-orang terlantar Yahudi berada di zona pendudukan Inggris di Jerman utara dan di zona pendudukan Amerika di selatan. Inggris mendirikan kamp besar untuk orang terlantar besar yang berdekatan dengan bekas kamp konsentrasi Bergen-Belsen di Jerman. Beberapa kamp besar yang masing-masing menampung 4.000 hingga 6.000 orang terlantar—Feldafing, Landsberg, dan Foehrenwald—berlokasi di zona Amerika.

Puncaknya pada tahun 1947, populasi orang terlantar Yahudi mencapai sekitar 250.000. Sementara United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) mengelola semua kamp dan pusat orang terlantar, orang-orang terlantar Yahudi meraih otonomi internal yang cukup besar.

Berbagai lembaga Yahudi aktif di kamp orang-orang terlantar. American Jewish Joint Distribution Committee menyediakan makanan dan pakaian bagi para pengungsi, dan Organization for Rehabilitation through Training (ORT) menawarkan pelatihan kejuruan. Orang-orang terlantar Yahudi juga membentuk organisasi pemerintahan sendiri, dan banyak yang bekerja untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Terdapat komite pusat orang-orang terlantar Yahudi di zona Amerika dan Inggris yang mendesak untuk terciptanya peluang imigrasi yang lebih besar dan pembentukan tanah air Yahudi di Palestina sebagai tujuan utama mereka.

Di Amerika Serikat, pembatasan imigrasi secara ketat membatasi jumlah pengungsi yang diizinkan masuk ke negara tersebut. Inggris, yang telah menerima mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengelola Palestina, sangat membatasi imigrasi Yahudi ke sana terutama karena adanya penolakan dari Arab. Banyak negara menutup perbatasan mereka terhadap imigrasi. Terlepas dari hambatan-hambatan ini semua, banyak orang terlantar Yahudi yang berusaha meninggalkan Eropa sesegera mungkin.

Kelompok Brigade Yahudi, dibentuk sebagai satu kesatuan di dalam pasukan Inggris pada akhir 1944, bekerja sama dengan mantan partisan untuk membantu mengelola Brihah (secara harfiah “melarikan diri”), eksodus 250.000 pengungsi Yahudi melintasi perbatasan tertutup dari dalam Eropa ke pesisir dalam upaya untuk berlayar ke Palestina. Mosad le-Aliyah Bet, lembaga yang didirikan oleh pimpinan Yahudi di Palestina, mengelola imigrasi “ilegal” (Aliyah Bet) dengan kapal. Namun demikian, Inggris mencegat sebagian besar kapal tersebut.

Pada 1947, sebagai contoh, Inggris menghentikan Exodus 1947 di pelabuhan Haifa. Di atas kapal tersebut terdapat 4.500 penyintas Holocaust yang dikembalikan ke Jerman dengan kapal Inggris. Dalam kebanyakan kasus, Inggris menahan para pengungsi—lebih dari 50.000 orang—di kamp-kamp tahanan di pulau Siprus di Laut Mediterania bagian timur. Penggunaan kamp tahanan yang digunakan Inggris sebagai pencegah mengalami kegagalan, dan rombongan besar imigran yang berusaha masuk ke Palestina terus berlanjut.

Penahanan para pengungsi Yahudi—banyak dari mereka merupakan penyintas Holocaust—mengubah pandangan dunia sehingga menentang kebijakan Inggris di Palestina. Laporan Komisi Penyelidikan Anglo-Amerika pada Januari 1946 membuat Presiden AS Harry Truman menekan Inggris agar menerima masuk 100.000 pengungsi Yahudi ke Palestina.

Ketika krisis meningkat, pemerintah Inggris memutuskan untuk menyerahkan masalah Palestina ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam sesi khusus, Majelis Umum PBB memberikan suara pada 29 November 1947, untuk membagi Palestina menjadi dua negara baru, yakni negara Yahudi dan negara Arab, sebuah rekomendasi yang diterima oleh para pemimpin Yahudi tetapi ditolak oleh bangsa Arab.

Setelah Inggris mulai penarikan pasukan militernya dari Palestina pada awal April 1948, para pemimpin Zionis bergerak untuk mendirikan negara Yahudi modern. Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion, ketua Lembaga Yahudi untuk Palestina, mengumumkan pembentukan negara Israel dengan menyatakan,

“Holocaust Nazi, yang melanda jutaan orang Yahudi di Eropa, membuktikan sekali lagi urgensi pendirian kembali Negara Yahudi, yang akan menyelesaikan masalah tunawisma Yahudi dengan membuka pintu gerbang untuk semua orang Yahudi dan mengangkat kaum Yahudi dalam kesetaraan di tengah keluarga bangsa-bangsa.”

Imigrasi Yahudi ke Israel, 1948-1950

Para penyintas Holocaust dari kamp-kamp orang terlantar di Eropa dan dari kamp-kamp tahanan di Siprus disambut masuk ke tanah air Yahudi. Banyak dari mereka bertempur dalam Perang Kemerdekaan Israel pada 1948 dan 1949. Pada 1953, Yad Vashem (Otoritas Peringatan Para Martir dan Pahlawan), lembaga nasional untuk peringatan Holocaust, didirikan.