Penganiayaan Nazi terhadap Orang Kulit Hitam di Jerman
Ketika Nazi berkuasa pada tahun 1933, terdapat beberapa ribu orang kulit hitam yang tinggal di Jerman. Rezim Nazi melecehkan dan menganiaya orang kulit hitam karena Nazi memandang mereka sebagai ras yang lebih rendah. Meskipun tidak ada program terpusat dan sistematis yang menyasar orang kulit hitam untuk dibantai, banyak orang kulit hitam yang dipenjara, disterilkan secara paksa dan dibantai oleh Nazi.
Fakta Utama
-
1
Nazi melecehkan dan mendiskriminasi orang-orang kulit hitam di Jerman. Undang-undang rasisme yang diterapkan rezim membatasi peluang sosial dan ekonomi mereka.
-
2
Rezim Nazi mensterilkan secara paksa sejumlah orang kulit hitam dan multiras yang tidak diketahui jumlahnya, termasuk setidaknya 385 anak-anak multiras Rhineland (yang secara hina disebut “Anak Haram Rhineland”).
-
3
Tidak ada gelombang penangkapan terkoordinasi yang menyasar semua orang kulit hitam di Jerman. Meskipun demikian, banyak orang kulit hitam yang akhirnya ditahan di rumah kerja, penjara, rumah sakit, fasilitas kejiwaan, dan kamp konsentrasi.
Pendahuluan
Ketika Adolf Hitler dan Nazi berkuasa pada tahun 1933, terdapat beberapa ribu orang kulit hitam yang tinggal di Jerman. Rezim Nazi mendiskriminasi mereka karena Nazi memandang orang kulit hitam sebagai ras yang lebih rendah. Selama era Nazi (1933–1945), Nazi menggunakan undang-undang dan kebijakan rasisme untuk membatasi kesempatan ekonomi dan sosial bagi orang kulit hitam di Jerman. Nazi juga melecehkan, memenjarakan, mensterilkan, dan membantai sejumlah orang kulit hitam yang tidak diketahui jumlahnya.
Asal Usul Komunitas Orang Kulit Hitam Jerman sebelum Perang Dunia I
Sebelum Perang Dunia I, beberapa ribu orang kulit hitam datang ke Jerman dari Afrika, Amerika Utara dan Selatan, serta Karibia. Hampir semua pendatang ini adalah kaum pria. Sebagian besar dari mereka berasal dari koloni Jerman di Afrika, terutama dari Kamerun. Selama masa kolonial, Jerman menerapkan pembatasan migrasi yang ketat terhadap warga koloninya. Otoritas Jerman ingin membatasi jumlah orang kulit hitam sebagai penduduk tetap di Jerman dan mengendalikan pertumbuhan mereka secara signifikan di sana.
Terlepas dari pembatasan ini, para pria kulit hitam dari wilayah koloni dan sekitarnya sering kali datang ke Jerman untuk belajar tentang perniagaan atau melakukan pekerjaan lain. Mereka mencari peluang pendidikan sebagai pekerja magang dan pelajar. Mereka juga datang untuk bekerja sebagai pembantu dan pelaut. Sejumlah besar dari mereka datang ke Jerman sebagai penampil (performer) bayaran dalam pameran publik yang eksploitatif yang disebut kebun binatang manusia.
Mayoritas pengunjung kulit hitam berencana untuk tinggal di Jerman sementara waktu saja. Kebanyakan pria dan wanita kulit hitam yang melakukan perjalanan ke Jerman kembali pulang ke negara asalnya sebelum Perang Dunia I (1914–1918). Sejumlah kecil lainnya memilih untuk tetap tinggal di Jerman. Selain itu, sebagian orang kulit hitam yang tidak berencana untuk tinggal di Jerman terjebak di sana akibat perang. Pecahnya perang pada tahun 1914 telah membatasi perjalanan dan migrasi internasional di dalam dan luar Eropa.
Bahkan setelah Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918, sebagian besar warga bekas koloni Jerman tidak dapat kembali ke tempat kelahirannya atau pindah ke luar negeri dengan mudah. Hal ini terjadi karena Jerman kehilangan wilayah jajahannya dalam penyelesaian damai pascaperang. Dalam tatanan baru pascaperang, warga dari negara bekas jajahan Jerman tidak memiliki kewarganegaraan Jerman dan tidak pula mempunyai akses untuk mendapatkan paspor atau dokumen perjalanan. Mereka terdampar di Jerman (saat itu dikenal sebagai Republik Weimar), yang tidak lagi memiliki hubungan formal dengan bekas jajahannya.
Penduduk Kulit Hitam di Jerman selama Periode Weimar (1918–1933)
Pada masa Republik Weimar, Jerman adalah tempat tinggal bagi komunitas kecil orang kulit hitam yang didominasi para pria yang sebagian besar bermigrasi ke Jerman sebelum Perang Dunia I. Pada awal tahun 1920-an, sebagian dari para pria ini menjalin hubungan dan menikah dengan perempuan lokal Jerman dan mempunyai keluarga. Banyak keluarga kulit hitam-Jerman yang tinggal berdekatan satu sama lain di kota-kota besar, seperti Berlin dan Hamburg, serta di Munich, Hanover, dan Wiesbaden.
Marginalisasi dalam Masyarakat Jerman Weimar
Rasisme adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat kulit hitam di Weimar Jerman, yang menyulitkan mereka mendapatkan pekerjaan. Situasi ini diperburuk pula oleh Depresi Besar. Wanita kulit putih Jerman yang menikah dengan pria kulit hitam sering kali dikucilkan, sehingga menyulitkan mereka juga untuk mendapatkan pekerjaan. Orang kulit hitam terkadang bahkan tersisihkan dalam keluarga besarnya sendiri. Contohnya, Theodor Wonja Michael, lahir pada tahun 1925 di Berlin dari ayah berkulit hitam asal Kamerun dan ibu berkulit putih asli Jerman, ingat dengan jelas bahwa ayahnya adalah “topik tabu” dalam keluarga ibunya.
Ketiadaan kewarganegaraan merupakan masalah pokok bagi keluarga kulit hitam-Jerman. Akibat rumitnya kewarganegaraan Jerman pada saat itu, mayoritas pria kulit hitam bukanlah warga negara Jerman. Hal ini berdampak pada istri dan anak-anak mereka yang status kewarganegaraannya bergantung pada kewarganegaraan suami dan ayah. Tanpa kewarganegaraan, pria kulit hitam, istri kulit putih, dan anak-anak mereka tidak dapat sepenuhnya berintegrasi ke dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di Jerman.
Penampil Kulit Hitam dan Budaya Weimar
Meskipun komunitas kulit hitam di Jerman berjumlah kecil dan tersisihkan, kehadiran mereka bukannya tidak diketahui. Pada tahun 1920-an, orang kulit hitam di Jerman sangat terlihat sebagai bagian dari kehidupan budaya yang dinamis dan inovatif pada era Weimar. Meningkatnya ketertarikan masyarakat Jerman pada musik dan pertunjukan Afrika-Amerika memberi peluang baru bagi orang kulit hitam di Jerman untuk tampil di panggung, baik mereka orang Afrika-Amerika sejati atau bukan. Mereka tampil di teater, sirkus, film, dan tempat pertunjukan musik langsung (live) seperti klub malam dan kabaret.
“Anak Haram Rhineland”: Anak Multiras di Rhineland
Pada era Weimar, juga terdapat antara 600-800 anak multiras yang lahir di Rhineland, sebuah wilayah di Jerman bagian barat. Pers Jerman menyebut mereka dengan menggunakan label yang menghina “Anak Haram Rhineland” (“Rheinlandbastarde”). Ibu mereka adalah wanita kulit putih Jerman dan ayah mereka sebagian besar adalah tentara kolonial Prancis yang pernah menjadi bagian dari pendudukan militer Sekutu yang luas di Rhineland (1918–1930). Meskipun banyak dari tentara ini berasal dari Afrika Utara atau Asia, dalam wacana publik mereka semua dirasialisasikan sebagai orang kulit hitam.
Anak-anak ini mendapat tempat yang ambivalen dalam masyarakat Weimar Jerman, karena asal-usul mereka dari orang tua yang berbeda ras. Mereka sering kali didiskriminasi karena ayah dan penampilan fisik mereka. Namun, mereka bukanlah benar-benar warga negara asing. Sebagian besar anak-anak ini memiliki kewarganegaraan Jerman dari ibu mereka yang tidak menikah. Secara sosial, anak-anak ini sering dikucilkan. Mereka mengalami rasisme dari tetangga, teman sekelas, bahkan dari keluarga sendiri. Sebagian dari mereka tetap tinggal bersama ibu kandung atau keluarga mereka, sedangkan yang lainnya ditempatkan di panti asuhan atau diadopsi.
Orang Kulit Hitam di bawah Rezim Nazi (1933–1945)
Adolf Hitler dan Partai Nazi mulai menerapkan gagasan diskriminatif dan salah tentang ras ke dalam hukum dan praktik ketika mereka berkuasa di Jerman pada tahun 1933. Nazi ingin menciptakan Jerman yang murni secara ras dan menganggap orang Jerman sebagai ras “Arya” yang dianggap lebih unggul. Mereka menyasar orang Yahudi, Gipsi, dan kulit hitam sebagai “non-Arya” dan sebagai ras yang dianggap lebih rendah. Nazi mengeluarkan undang-undang yang membatasi hak-hak orang Jerman non-Arya. Undang-undang ini terutama dimaksudkan untuk mengucilkan orang Yahudi, tetapi juga berlaku untuk orang kulit hitam dan Roma.
Bagi orang Jerman berkulit hitam, era Nazi adalah masa meningkatnya penganiayaan, marginalisasi, dan isolasi. Meskipun mereka telah menghadapi rasisme selama era Weimar, rasisme yang dilembagakan oleh rezim Nazi membuat kehidupan orang kulit hitam dan keluarganya menjadi lebih sulit dan berbahaya. Akibatnya, orang kulit hitam di Jerman melihat naiknya Nazi ke tampuk kekuasaan sebagai titik balik dalam hidup mereka.
Nazi menganiaya orang kulit hitam di Jerman bukan hanya karena ras mereka, tapi juga karena alasan lain, seperti politik. Contohnya, Hilarius “Lari” Gilges (lahir 1909) adalah seorang penari kulit hitam Jerman dan aktivis Komunis dari Düsseldorf, Jerman. Nazi membunuhnya pada 20 Juni 1933, dan meninggalkan mayatnya di jalan. Pembunuhan Gilges terjadi pada bulan-bulan pertama kekuasaan rezim Nazi, ketika Nazi berupaya menghancurkan gerakan Komunis Jerman.
Ideologi rasis Nazi merasuki seluruh aspek kehidupan di Jerman. Banyak orang Jerman yang menganut ideologi ini dan secara terbuka melakukan diskriminasi terhadap orang kulit hitam atas inisiatif mereka sendiri. Akibatnya, semakin sulit bagi orang kulit hitam untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan. Rekan kerja dan atasan enggan bekerja dengan orang yang warna kulitnya menandai mereka sebagai orang luar dalam komunitas ras Nazi. Pemecatan, penggusuran, dan kemiskinan adalah hal biasa. Sebagian orang kulit hitam mengingat kehidupan di Jerman Nazi sebagai masa ketika orang asing meludahi mereka dan mengejek mereka dengan umpatan rasis tanpa mendapat hukuman.
Undang-undang Pemulihan Dinas Sipil Profesional
Rezim Nazi jelas terlihat bermaksud untuk mengucilkan orang kulit hitam secara resmi dari masyarakat Jerman.
Pada April 1933, Undang-Undang Pemulihan Dinas Sipil Profesional mencopot orang-orang “keturunan non-Arya” dari dinas sipil Jerman. Dekret ini tidak menerangkan secara jelas bagaimana mendefinisikan “keturunan non-Arya”. Keinginan untuk mengucilkan orang Yahudi sudah jelas, tetapi dekret berikutnya memperjelas bahwa hal ini juga berlaku untuk orang kulit hitam dan Roma. Pada praktiknya, relatif sedikit orang kulit hitam yang terkena dampak langsung dari undang-undang ini, karena hanya warga negara yang bisa menjadi pegawai negeri. Dan sebagian besar orang kulit hitam yang merupakan warga negara Jerman masih terlalu muda untuk bekerja di dinas sipil. Namun, dekret ini dan pembatasan berdasarkan ras berikutnya sangat membatasi peluang kerja dan jalur karier di masa mendatang. Hal ini juga memperjelas bahwa Nazi tidak menganggap orang kulit hitam sebagai bagian dari komunitas nasional Jerman (Volksgemeinschaft).
Undang-Undang Ras Nuremberg
Pada September 1935, rezim Nazi mengumumkan Undang-Undang Ras Nuremberg, yang memasukkan gagasan Nazi tentang ras ke dalam undang-undang. Undang-undang ini terutama menyasar orang Yahudi. Namun, mulai bulan November 1935, Undang-Undang Nuremberg juga berlaku bagi orang-orang Roma dan kulit hitam, yang oleh rezim tersebut disebut dengan istilah yang menghina “Gipsi, Negro, dan anak haram mereka” (“Zigeuner, Neger und ihre Bastarde”).
Ada dua Undang-undang Ras Nuremberg. Yang pertama, Undang-Undang Kewarganegaraan Reich, yang mendefinisikan warga negara Jerman sebagai orang yang “berketurunan Jerman atau sedarah dengan orang Jerman.” Tujuannya adalah untuk mengecualikan orang-orang yang dianggap lebih rendah secara ras oleh rezim (yaitu, Yahudi, Roma, dan orang kulit hitam) dari hak politik di Jerman.
Yang kedua adalah Undang-Undang Perlindungan Darah Jerman dan Kehormatan Jerman. Undang-undang ini melarang percampuran ras atau yang disebut dengan “pengotoran ras” (Rassenschande). Undang-undang ini melarang pernikahan campuran dan hubungan seksual di masa mendatang antara orang Yahudi dan orang “Jerman atau sedarah dengan orang Jerman.” Tambahan undang-undang berikutnya melarang orang kulit hitam di Jerman untuk menikah dengan “orang Jerman atau sedarah dengan orang Jerman”. Tujuannya adalah untuk mencegah orang kulit hitam menikah dan mempunyai anak dengan orang Jerman.
Penganiayaan dan Diskriminasi terhadap Pasangan Beda Ras di Jerman Nazi
Undang-undang Ras Nuremberg mempersulit orang kulit hitam di Jerman untuk menikah, berkeluarga, atau membangun masa depan. Hal ini terutama menimpa mereka yang berada pada usia reproduktif dan usia menikah. Meskipun sah bagi orang kulit hitam untuk menikah satu sama lain, jarang ada pasangan sesama orang kulit hitam mengingat kecilnya komunitas orang kulit hitam.
Terlepas dari Undang-undang Nuremberg, beberapa orang kulit hitam dan “Arya” Jerman masih menjalin hubungan asmara satu sama lain. Hubungan ini berbahaya bagi kedua pasangan tersebut, terutama jika mereka memilih untuk menikah secara sah. Di Jerman Nazi, setiap orang diharuskan mengajukan izin menikah. Ketika pasangan beda ras mengajukan izin, permohonan mereka selalu ditolak karena alasan ras. Permohonan ini membuat hubungan beda ras menjadi perhatian otoritas pemerintah, yang sering kali menimbulkan konsekuensi buruk bagi pasangan tersebut. Dalam banyak kasus, permohonan pernikahan mengakibatkan pelecehan, sterilisasi, dan putusnya hubungan.
Pasangan sah yang pernikahannya dilakukan sebelum adanya Undang-undang Nuremberg mengalami pelecehan oleh rezim Nazi. Rezim menekan perempuan kulit putih Jerman untuk menceraikan suaminya yang berkulit hitam. Pasangan beda ras dan anak-anak mereka sering kali dipermalukan dan bahkan diserang ketika mereka muncul bersama di depan umum. Misalnya, wartawan Nazi di Frankfurt terus-menerus mengejek dan merendahkan Dualla Misipo, seorang pria Kamerun, dan keluarganya yang berkulit hitam-Jerman, di halaman surat kabar partai lokal. Baik dia maupun istrinya yang merupakan orang Jerman berkulit putih tidak dapat mencari nafkah.
Sedikitnya ada dua kasus yang diketahui di mana pria kulit hitam dihukum setidaknya sebagian karena mereka melakukan hubungan seksual dengan perempuan kulit putih Jerman.
Mengeluarkan Anak Kulit Hitam dari Sekolah
Seperti halnya orang tuanya, banyak anak kulit hitam di Jerman yang merasakan era Nazi sebagai masa kesepian, isolasi, dan pengucilan yang semakin intens. Sebagian anak kulit hitam merasa dirinya sebagai orang Jerman dan ingin menjadi bagian dari keriangan tersebut. Namun, ideologi rasial Nazi tidak memiliki tempat bagi anak-anak kulit hitam-Jerman. Hans Massaquoi, yang ayahnya adalah orang Liberia dan ibunya orang Jerman, mengingat jelas ketika kelasnya pergi ke parade, di mana Adolf Hitler akan tampil.
“Sekarang kami akan mendapat kesempatan untuk melihat [Hitler] dengan mata kepala kami sendiri… Saya di sana, seorang anak laki-laki umur delapan tahun dengan rambut keriting dan berkulit cokelat di tengah lautan anak berambut pirang dan bermata biru, penuh dengan patriotisme kekanak-kanakan, masih terlindungi oleh ketidaktahuan yang membahagiakan. Seperti semua orang di sekitar saya, saya menyemangati pria yang setiap jam bangunnya didedikasikan untuk pemusnahan 'orang non-Arya yang lebih rendah' seperti saya.”
Hans J. Massaquoi, Destined to Witness: Growing up Black in Nazi Germany
Bagi anak-anak kulit hitam di Nazi Jerman, sekolah menjadi tempat penghinaan. Anak-anak kulit hitam sering kali direndahkan di kelas ilmu tentang ras dan diejek oleh guru yang mendukung Nazi.
Dengan adanya Nazifikasi dalam sistem pendidikan yang sangat membatasi hak anak-anak Yahudi untuk bersekolah di sekolah umum, hal ini juga berdampak pada anak-anak kulit hitam selama tahun 1930-an. Beberapa siswa kulit hitam dikeluarkan dan tidak dapat menyelesaikan pendidikannya. Hanya sedikit sekolah swasta yang menerima siswa kulit hitam. Mendapatkan program magang, yang merupakan hal penting di Jerman untuk mendapatkan pekerjaan, menjadi semakin sulit.
Pada awalnya diskriminasi terhadap anak-anak sekolah merupakan inisiatif ad hoc dan bersifat lokal. Namun ketika Nazi semakin mengencangkan kendalinya atas sekolah, mereka memberlakukan larangan resmi. Pada November 1938, setelah Kristallnacht, rezim Nazi sepenuhnya melarang semua anak Yahudi bersekolah di sekolah umum Jerman. Pada Maret 1941, rezim Nazi secara resmi mengeluarkan anak-anak kulit hitam dan Roma dari sekolah umum.
Sterilisasi Paksa Orang Kulit Hitam di Nazi Jerman
Nazi menggunakan sterilisasi paksa untuk menganiaya orang kulit hitam di Jerman, khususnya anak-anak multiras di Rhineland.
Sterilisasi adalah suatu prosedur yang membuat seseorang tidak dapat menjadi ayah atau melahirkan anak. Dewasa ini, sterilisasi paksa dapat dituntut sebagai kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum internasional. Nazi secara paksa mensterilkan ratusan ribu orang, termasuk penyandang disabilitas, orang Roma, dan orang kulit hitam. Para pemimpin Nazi meyakini bahwa orang-orang ini merupakan ancaman terhadap kesehatan, kekuatan, dan kemurnian ras Arya.
Rezim Nazi mensterilkan secara paksa ratusan orang kulit hitam karena Nazi berupaya mencegah apa yang mereka lihat sebagai “pencampuran ras.” Jadi, selain mengesahkan Undang-undang Nuremberg untuk mencegah pernikahan beda ras, rezim Nazi juga menggunakan sterilisasi paksa untuk mencegah lahirnya generasi kulit hitam di masa mendatang di Jerman.
Sejumlah orang kulit hitam di Nazi Jerman disterilkan atas perintah pengadilan, berdasarkan “Undang-undang Pencegahan Keturunan dengan Penyakit Keturunan” (“Undang-undang Kesehatan Keturunan”) tahun 1933. Undang-undang ini mengamanatkan sterilisasi paksa terhadap individu dengan disabilitas fisik dan mental tertentu, termasuk orang-orang yang termasuk dalam kategori “minderwertig” atau “berpikiran lemah.” Sejumlah kecil orang kulit hitam termasuk di antara sekitar 400.000 orang Jerman yang disterilkan berdasarkan undang-undang ini. Misalnya, Ferdinand Allen, yang memiliki ayah berkulit hitam Inggris dan ibu berkulit putih Jerman, menderita dan dirawat di rumah sakit karena epilepsi, yang merupakan salah satu kondisi yang tercantum dalam undang-undang. Allen disterilkan atas perintah pengadilan pada tahun 1935. Pada 15 Mei 1941, Nazi membunuh Allen di Bernburg sebagai bagian dari program T4 (program pembantaian massal Nazi yang menyasar penyandang disabilitas).
Nazi juga mensterilkan sejumlah orang kulit hitam di Jerman semata-mata karena ras mereka. Pada tahun 1930-an, sebuah program rahasia Gestapo mengoordinasikan sterilisasi paksa terhadap anak-anak multiras di Rhineland. Sebagai bagian dari upaya ini, para dokter mensterilkan secara paksa setidaknya 385 anak-anak dan remaja pada akhir tahun 1937. Karena tidak ada dasar hukum untuk sterilisasi itu, keluarga mereka ditekan untuk menyetujui prosedur tersebut. Selama Perang Dunia II, rezim Nazi mensterilkan secara paksa orang kulit hitam lainnya di Jerman, sering kali tanpa dasar hukum. Semua sterilisasi ini khususnya menyasar remaja kulit hitam dan multiras yang lahir di Jerman dan sudah cukup umur dan diyakini Nazi sedang memasuki masa pubertas atau sudah aktif secara seksual.
Beradaptasi dengan Kehidupan di bawah Kekuasaan Nazi: Pertunjukan sebagai Sumber Pendapatan
Sebagian besar orang kulit hitam yang tinggal di Jerman pada tahun 1933, ketika Nazi berkuasa, sebenarnya terjebak di sana selama periode Nazi. Meskipun sejumlah orang mencoba untuk meninggalkan Jerman Nazi, hal ini mustahil bagi sebagian besar mereka. Kebanyakan orang kulit hitam di Jerman tidak dapat menerima visa ke negara lain atau berimigrasi secara resmi ke negara lain karena masalah kewarganegaraan. Orang kulit hitam di Jerman tidak punya pilihan selain beradaptasi dengan kehidupan di bawah kekuasaan Nazi.
Namun pembatasan ekonomi dan sosial yang diberlakukan terhadap orang kulit hitam membuat kehidupan sehari-hari menjadi sangat sulit dan tidak stabil. Hampir mustahil bagi mereka untuk mencari penghasilan dan menafkahi keluarga. Bekerja sebagai penampil dalam pertunjukan dan di industri hiburan adalah satu-satunya pilihan bagi banyak anggota komunitas. Namun, ini pun merupakan sumber pendapatan yang tidak stabil di bawah pemerintahan Nazi. Nazifikasi kehidupan budaya Jerman sangat membatasi pilihan bagi pria dan wanita kulit hitam yang berusaha mencari nafkah sebagai penampil dalam pertunjukan.
Akibat menurunnya kesempatan kerja, seorang pria Togo, Kwassi Bruce, ikut menciptakan Pertunjukan Afrika Jerman pada tahun 1934. Pertunjukan Afrika Jerman adalah pertunjukan tur yang sebagian merupakan etnografi dan sebagian lagi hiburan. Pertunjukan ini memberikan penghasilan bagi sejumlah penampil kulit hitam. Nazi menggunakan pertunjukan tersebut untuk mempromosikan upaya dalam merebut kembali koloni Jerman di Afrika, yang telah terlepas dari negara tersebut pada akhir Perang Dunia I. Rezim Nazi menutup pertunjukan tersebut pada tahun 1940.
Pada tahun 1941, rezim Nazi memberlakukan larangan resmi terhadap penampil kulit hitam untuk tampil di depan umum. Pengecualian terhadap larangan tersebut dibuat untuk industri film. Pria, wanita, dan anak-anak kulit hitam diizinkan untuk tampil dalam film propaganda yang bertujuan untuk mempromosikan pandangan dunia Nazi. Orang kulit hitam (termasuk tawanan perang kulit hitam) sangat terlihat muncul dalam film Carl Peters (1941), sebuah film biografi seorang administrator kolonial Jerman yang mendukung kolonialisme dan membenarkan kebrutalannya.
Pemenjaraan Orang Kulit Hitam pada Masa Perang di Kamp Konsentrasi dan Lokasi Lainnya
Selama Perang Dunia II, kebijakan Nazi terhadap orang kulit hitam menjadi semakin ekstrem. Hal ini terjadi dalam konteks radikalisasi kebijakan Nazi yang lebih luas terhadap mereka yang dianggap sebagai musuh ras dan politik. Karena undang-undang dan kebijakan yang mempertajam diskriminasi dan rasisme di Jerman, banyak orang kulit hitam yang akhirnya ditahan di rumah kerja, penjara, rumah sakit, fasilitas kejiwaan, dan kamp konsentrasi.
Ada beberapa dokumentasi pengalaman orang kulit hitam yang dipenjara di kamp-kamp konsentrasi, termasuk di antaranya Mahjub bin Adam Mohamed (Bayume Mohamed Husen) yang dipenjara dan dibunuh di Sachsenhausen, Gert Schramm yang dipenjara di Buchenwald, Martha Ndumbe yang dipenjara dan dibunuh di Ravensbrück, dan Erika Ngando yang dipenjara di Ravensbrück. Beberapa dari mereka, termasuk Husen dan Ndumbe, tewas di kamp. Yang lain selamat dan meninggalkan memoar dan kesaksian tentang pengalaman mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah plakat peringatan yang disebut Stolpersteine (secara harfiah berarti “batu sandungan”) yang didedikasikan untuk korban penganiayaan dan pembantaian orang kulit hitam oleh Nazi telah ditempatkan di Jerman.
Para ilmuwan terus meneliti dan mengungkap kisah-kisah orang kulit hitam yang menjadi korban penganiayaan Nazi. Kisah para korban membantu menjelaskan tidak hanya pengalaman orang-orang kulit hitam di bawah kekuasaan Nazi, tetapi juga dampak luas dan konsekuensi tragis ideologi Nazi terhadap individu dan seluruh komunitas.
Catatan kaki
-
Footnote reference1.
Dari tahun 1884/5 hingga 1918, Jerman menguasai empat koloni di Afrika: Togo (sekarang Togo dan sebagian Ghana); Kamerun (Kamerun dan sebagian Gabon, Republik Kongo, Republik Afrika Tengah, Chad, dan Nigeria); Afrika Barat Daya Jerman (Namibia); dan Afrika Timur Jerman (Tanzania, Burundi, sebagian Mozambik, dan, untuk waktu yang singkat, Zanzibar).
-
Footnote reference2.
Kebun binatang manusia adalah pameran yang eksploitatif di mana orang-orang non-Eropa dipajang dan diharapkan menunjukkan tradisi dan adat istiadat mereka kepada penonton kulit putih. Alih-alih menunjukkan seperti apa kehidupan di koloni-koloni Jerman di Afrika dan tempat-tempat lain yang dianggap “eksotis”, kebun binatang ini justru menyajikan gambaran yang menyimpang, tidak akurat, penuh prasangka, rasis, dan dipalsukan tentang orang-orang Afrika dan lainnya. Meskipun demikian, kebun binatang manusia adalah bisnis besar yang menangguk keuntungan dari eksploitasi manusia dan stereotipe. Ini adalah bentuk hiburan yang populer di Eropa pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh.
-
Footnote reference3.
Sebelum Perang Dunia I, orang Afrika dari koloni-koloni Jerman dianggap sebagai orang jajahan kolonial, bukan warga negara. Setelah Perang Dunia I (1914–1918), ketika Jerman kehilangan koloninya dalam penyelesaian damai pascaperang, warga bekas jajahan ini secara efektif menjadi tidak memiliki kewarganegaraan.
-
Footnote reference4.
Ketika seorang anak lahir dari seorang wanita yang belum menikah, undang-undang kewarganegaraan Jerman menetapkan bahwa anak tersebut mewarisi status kewarganegaraan dari ibunya. Hal ini berlaku bagi kebanyakan, tetapi tidak semua, anak-anak multiras di Rhineland.
-
Footnote reference5.
Hans J. Massaquoi, Destined to Witness: Growing up Black in Nazi Germany (New York: W. Morrow, 1999), 1-2.